Minggu-minggu ini, akhir Oktober sampai awal
Nopember 2015, adalah masa Ujian Tengah Semester (UTS), baik untuk mahasiswa S1
maupun S2. Bagi mahasiswa, masa-masa tersebut adalah masa yang sangat penting
dalam proses perkuliahan mereka. Sebab, tanpa ikut ujian, nasib akhir
keberhasilan kuliah di semester ini akan disangsikan.
Makanya, di masa UTS ini
hampir 100% mahasiswa terlihat serius, bersikap baik, sungguh-sungguh, fokus,
dan biasanya lebih terlihat religius. Mereka bertobat sejenak dari : kemalasan,
bersantai-santai, sibuk dengan dunia lain, dan hal-hal yang dapat mengalihkan
perhatiannya dari pelajaran. Waktunya digunakan secara efektif untuk belajar,
dan bagi sebagian mahasiswa, ditambah dengan berdoa.
Nah, terkait dengan topik seputar “Ujian” di
kampus, ada sebuah cerita sederhana yang ingin saya bagikan di sini.
***
Suatu hari, seorang dosen asisten bertugas mengawas UTS matakuliah Analisis
Statistika. Soal yang diujikan ada 5 buah soal essay. Dikerjakan dalam waktu
maksimum 2 jam. Ujian berjalan dengan lancar, suasana kelas tenang, mahasiswa
mengerjakan dengan khusyuk. Namun, saat 30 menit terakhir menjelang waktu
berakhir, mahasiswa terlihat tegang. “Ya ampun, 30 menit lagi?!…” gumam
beberapa mahasiswa, yang sedang merasakan otak dan tangannya tegang. Sang Dosen
tersenyum, melihat mahasiswa mulai gusar.
Sepuluh menit terakhir, sudah ada yang mengumpulkan lembar jawaban. Dan,
selang beberapa waktu berikutnya, yang lain mulai menyusul. Namun, saat waktu
sudah habis, bahkan telah lewat sepuluh menit, masih ada hampir 40% mahasiswa
yang belum selesai. Dengan rendah hati dan santun, dosen tersebut memohon agar
segera menghentikan pekerjaannya. Akhirnya, semua pun mengumpulkan lembar
jawaban.
Saat Dosen tersebut sedang merapikan lembar jawaban ujian, menghitung
jumlahnya, dan memasukkan ke dalam amplop soal, ada seorang mahasiswa yang
menghampiri dan bertanya, “Bu, nanti bakal ada remedial tidak, ya?”
Sang Dosen tertawa, dalam hati dia berkata “Baru selesai ujian kok udah
nanya remedial, seneng banget dikasih ujian nih mahasiswa.” Hehe. Namun, tetap
saja dia tak sampai hati berkata begitu. Dengan senyum dia bertanya
kembali,
“Memangnya kenapa, Mbak kok nanyain remedial?”
“Tadi kayaknya banyak yang salah, Bu. “ Kata mahasiswa tersebut memelas.
“Belum apa-apa udah ga pede nih, mahasiswa. Hehe.” Sang Dosen hanya berani
membatin. Kasian juga dia melihat wajah mahasiswa tersebut seperti sangat
berharap.
“Hemm.., sepertinya tidak ada ujian remedial, ya.” Sang Dosen menjawab
sambil beranjak keluar ruangan. Mahasiswa tersebut mengikuti di
sampingnya.
“Yah..Bu, gimana dong, tadi saya salah semua sepertinya, Bu..” Mahasiswa
tersebut terlihat kecewa.
“Hehehe…ga
papa, namanya orang belajar, memang perlu mengalami ‘salah’ dulu. Kalo udah
ngalamin salah, semoga kedepannya jadi bener. But, Positive Thinking aja,
manatau jawaban yang dirasa salah tadi itu, justru bener semua. Okey?” Sang
Dosen menjawab sambil menatap wajah mahasiswanya, lalu berlalu dengan
tersenyum.
***
Cerita semacam itu, tak hanya sekali dua kali dijumpai oleh dosen tersebut.
Dan, bukan hanya satu atau dua orang mahasiswa yang menanyakan ujian perbaikan
(remedial) sesaat setelah mengumpulkan lembar jawaban. Ini sungguh mengherankan. Baru saja selesai mengerjakan soal, sudah bertanya
akan adanya ujian remedial. Begitu senangnya mereka menjalani ujian. Dan juga,
dosen tidak ingin memberikan tugas, terkadang mahasiswa malah meminta diberi tugas. Betapa pula
senangnya mereka diberi tugas oleh dosen. :)
Menyikapi hal tersebut, ada beberapa pandangan yang dapat saya berikan
sebagai komentar. Semoga ini bermanfaat.
Pertama,
Ketika mahasiswa berharap ada ujian lagi (remedial), ini akan membuat kedua
belah pihak, yaitu dosen dan mahasiswa, justru menjadi lebih “repot”!. Hehe. Mahasiswa repot harus mempelajari materi itu lagi, padahal
seharusnya waktu dan tenaganya bisa digunakan untuk mempelajari hal yang lain,
atau bahkan seharusnya bisa bersantai-santai ria. Kemudian, dosen juga akan
repot menyiapkan soal ujian dan mengoreksi jawaban mahasiswa, padahal seharusnya
waktu yang ada bisa digunakan untuk mengerjakan tugas yang lain. Sebagai pengampu matakuliah, tentu dosen berharap tidak ada remidial.
Karena itulah, coba fikirkan dengan jernih. Mending mana, Anda repot mengerjakan
hal-hal lain yang dapat meningkatkan kapasitas diri Anda atau sibuk dengan satu
hal yang itu-itu saja? #Tapi sy tau kok, klo Anda merasa sudah berhasil saat ujian, pasti tidak akan meminta remedial.. hehe, iya kan? Mana ada mahasiswa yg mau belajar itu2 terus klo emang udah bisa.. :D
Kedua,
Menanyakan remedial setelah melaksanakan ujian, merupakan bentuk sikap
tidak percaya diri. Ketidakpercayaan diri ini akibat dari fikiran negatif yang
ada di kepalanya. Kok bisa? Mari kita analisa.
Misalkan, Anda merasa gagal atau kurang puas dalam mengerjakan soal
ujian yang baru saja Anda jalani. Apakah ini sudah jaminan bahwa nilai Anda
jelek untuk matakuliah tersebut? Terlebih jika ini baru UTS.
Jelas belum tentu! Lah, kalau UTSnya jelek tapi tugas-tugasnya bagus,
kemudian UAS juga bagus, mana mungkin hasil akhirnya sama jeleknya dengan nilai
UTS? Ingat, komponen penilaian bukan hanya dari satu aspek saja. Jadi, jangan
langsung gusar ketika merasa hasil UTSnya belum memuaskan. Kalau Anda langsung
gusar, itu tanda Anda tidak percaya diri. Ya, siapa tau jawaban yang Anda rasa
salah, justru benar.
Tapi, saya juga ngerti, bahwa perasaan tak dapat dibohongi. Benarkah? Hehe.
Dan, saya juga ngerti bahwa sebagian dari Anda merasa hancur hatinya saat merasa
gagal ketika ujian. #pernah ngalamin.
Lalu, apa solusinya?
Menurut hemat saya, sebaiknya santai saja, bersikaplah tenang dan
elegan. Kalaupun Anda merasa sedih dan galau karena tak mampu menjawab soal
ujian, tidak perlu minta reremedial. Mending minta dibimbing dengan baik dalam matakuliah tersebut agar
lebih mudah menguasai materinya. Hehe. Kemudian, biarkan saja Dosennya yg memutuskan, kira2 perlu diadakan remedial atau tidak. Jika sekiranya, dosen memandang bahwa remedial itu diperlukan, tentu dosem akan memberikan remedial. So, berdoalah supaya dosennya memutuskan sesuatu yang memguntungkan Anda dan teman2 Anda semua. :D
Begitu juga dalam hidup ini, bukan? Kita tentu tak pernah meminta untuk diberi ujian tertentu. Bahkan kita selalu berdoa agar jangan diberi ujian diluar kesanggupan kita. Sebagai contoh, misal kita diuji oleh Allah dengan menderita penyakit yang parah. Setelah sembuh, apakah kita minta lagi diberi ujian sakit? Justru kita berdoa supaya jangan diberi sakit lagi kan? Mayoritas kita tidak ingin diberi ujian dengan tema yang sama. Nah, jika ternyata kita masih diberi ujian dg tema yang sama oleh Allah, itu karena kita dipandang masih belum lulus. Sehingga, perlu di uji dg topik atau pokok bahasan yang sama. Seorang teman saya yang kedalaman ilmu agamanya cukup baik, memberi contoh kepada saya. Misalnya, seseorang yang punya masalah dalam hal kedisiplinan, Allah akan beri ujian berupa situasi yng menghadapkan orang tersebut untuk tidak disiplin. Ujian ini akan diberikan terus sampai orang tersebut lulus atau mampu menaklukkan masalah kedisiplinannya itu.
Begitu juga dalam hidup ini, bukan? Kita tentu tak pernah meminta untuk diberi ujian tertentu. Bahkan kita selalu berdoa agar jangan diberi ujian diluar kesanggupan kita. Sebagai contoh, misal kita diuji oleh Allah dengan menderita penyakit yang parah. Setelah sembuh, apakah kita minta lagi diberi ujian sakit? Justru kita berdoa supaya jangan diberi sakit lagi kan? Mayoritas kita tidak ingin diberi ujian dengan tema yang sama. Nah, jika ternyata kita masih diberi ujian dg tema yang sama oleh Allah, itu karena kita dipandang masih belum lulus. Sehingga, perlu di uji dg topik atau pokok bahasan yang sama. Seorang teman saya yang kedalaman ilmu agamanya cukup baik, memberi contoh kepada saya. Misalnya, seseorang yang punya masalah dalam hal kedisiplinan, Allah akan beri ujian berupa situasi yng menghadapkan orang tersebut untuk tidak disiplin. Ujian ini akan diberikan terus sampai orang tersebut lulus atau mampu menaklukkan masalah kedisiplinannya itu.
Begitu pula dengan ujian di kampus. Saat dosen memandang Anda belum bisa lulus matakuliah itu, tentu dosen atau pihak kampus memiliki kebijakan agar mahasiswa tersbut remidial tanpa Anda minta atau kuliah ulang di tahun berikutnya. :D. Maka dari itu, selagi dosen belum memutuskan untuk remidial atau tidak, diam saja dulu. Tenangkan hati dan pikiran. Cari dulu hiburan. Bamyak-banyak berdoa. Dan yang lebih penting lagi, kalau merasa UTS nya jelek, langsung giat
belajar dan ubah cara belajar! Pastikan kemampuan Anda melejit setelah
kegagalan Anda di UTS!
Kemudian, gunakan cara langit! Apa itu? Jangan berhenti mendoakan dosen
tersebut agar setelah UTS lebih perhatian dengan para mahasiswa, mengajar lebih
hebat, lebih lembut hatinya, tergugah hatinya untuk memberikan soal ujian yang
masih dapat terjangkau oleh kemampuan Anda. Dan, doakan juga agar saat
mengoreksi ujian, dapat bersikap adil dan tidak terlalu kaku dalam memberikan
skor nilai. Hehe. Itu doa untuk Si
Dosen. Klo kenyataannya Dosen Anda sudah sangat baik, profesional, dan sudah sesuai dg harapan Anda semua, ya.. doakan agar dosennya semakin baik, sehat, dan hidupnya semakin berlimpah rejeki dan keberkahan. Hehe.
Tidak cukup mendoakan dosen saja tentunya, kan? Yang lebih penting,
mendoakan diri sendiri.
- Berdoalah, agar ujian berikutnya lebih siap.
- Berdoalah, agar setelah UTS diberi kemudahan memahami pelajaran.
- Berdoalah, semoga diberi kesehatan fisik, mental, dan spiritual yang menunjang belajar.
- Berdoalah, agar Anda semakin hebat.
- Berdoalah, agar apapun dan bagaimanapun dosen yang memberi kuliah, Anda tetap sukses!
- Berdoalah, agar sesulit apapun materi kuliahnya Anda mampu melahapnya.
Bukankah ilmu itu dari Allah? Dan bukankah kita-kita ini juga berasal
dari Allah? Allah pasti tau persis tentang materi kuliah yang kita pelajari
itu, dan Allah juga tau persis bagaimana kualitas diri kita. So, mari kita berikhtiar
sambil berserah diri memohon pertolonganNya, agar proses belajar kita
dimudahkan dan hasilnya berkah. Wallahu’alam.
Tuanputrie
Bogor, 7 November 2015
MasyaAllah Bu Cici
ReplyDelete