Thursday, March 5, 2015

Belajar Bijaksana dengan Membaca dan Menganalisa

Bijaksana, apa itu? Saya termenung memikirkan sebenarnya apa sih yang dimaksud “bijaksana” itu. Kok, saya senang sekali dengan kata-kata ini, bahkan seringkali saya memanjatkan doa agar dijadikan pribadi yang bijaksana.

Saya telusuri berbagai sumber untuk mendapatkan pengertian bijaksana. Saya ingin memastikan, apakah sudah tepat makna bijaksana yang selama ini saya pahami? Dan, apakah tepat jika kata “bijaksana” ini saya jadikan motto di dalam blog ini.

Akhirnya, saya berhasil merangkum penjelasan mengenai makna bijaksana ini. Bijaksana adalah suatu sikap yang mencerminkan keadaan jiwa yang tenang dan berpikir jernih sebelum berucap dan bertindak. Ustd. Syafi’i Antonio dalam bukunya Asma’ul Husna for Success in Business and Life menjelaskan bahwa bijaksana merupakan sikap yang dilandasi oleh kejernihan hati, fikiran, dan kedalaman ilmu. Orang yang bijaksana mengetahui betul apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pendapat lain menyatakan bahwa, orang yang bijaksana memandang masalah dari berbagai sudut pandang. Mereka mampu melihat masalah dalam konteks yang luas, tidak berpikir sempit. Ini sesuai dengan sinonim dari kata bijaksana, yakni: arif. Kata arif yang berasal dari bahasa Arab ini, berasal dari kata “arafa” yang berarti: luas, lapang. Wujud kongkrit dari sikap bijaksana ini adalah mampu mendengarkan, memahami, dan menerima orang lain dengan baik, sehingga dapat bersikap tepat dan proporsional dalam memandang sesuatu atau bersikap terhadap orang lain.

Allah SWT sendiri memiliki asma’ul husna Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Menurut Ustd. Syafi’i Antonio, Al-Hakim adalah Dzat yang memiliki hikmah (kebijaksanaan) dalam semua perbuatanNya. Dengan kebijaksanaan-Nya, Allah SWT menghendaki agar manusia dapat menangkap pesan sosial yang terkandung dalam sifatNya ini, yaitu dapat bersikap bijaksana dan mampu menyadari bahwa segala sesuatu ada hikmahnya. Nah, jelas bahwa belajar untuk menjadi pribadi yang bijaksana adalah suatu keharusan bagi orang yang meyakini sifat Allah Al-Hakim ini.

Saya pribadi melihat bahwa bijaksana merupakan akhlak yang mulia. Bahkan, dari beberapa sumber dikatakan bahwa bijaksana merupakan cermin dari ketakwaan. Seperti halnya yang disebut dalam kitab suci, “...Wahai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang paling taqwa di antara kamu...” (QS. Al-Hujuraat: 13).
Istilah “saling mengenal” merupakan terjemahan dari kata “ta’arafu” dalam ayat tersebut. Menariknya, kata “ta’arafu” juga berakar dari kata “arafa”. Di situlah letak keterkaitan antara bijaksana dengan mulia. Setelah mengetahui hal ini, saya ingin selalu belajar menjadi manusia yang mulia di sisi Allah, oleh karenanya saya berusaha untuk belajar menjadi orang yang bijaksana. Lalu, bagaimana dengan Anda? :)

Terkait dengan motto dalam blog saya ini, yaitu “belajar bijaksana dengan membaca dan menganalisa”, saya akan mencoba menjelaskan alasannya. Mengapa melalui membaca dan menganalisa kita bisa bijaksana?

Dalam kehidupan ini, hal yang tidak dapat kita hindari adalah masalah. Benar tidak? Siapapun itu, pasti memiliki masalah. Nah, apa yang mesti kita lakukan terhadap masalah...?

Tentu, menyelesaikannya, bukan?

Ya, masalah itu harus diselesaikan. Dan, bagaimana cara menyelesaikan masalah, itu tergantung pada diri kita. Kecerdasan kita, ketrampilan kita, wawasan kita, dan semua kondisi diri kitalah yang akan menentukan bagaimana cara menyelesaikan masalah.

Lalu, apa kaitannya dengan membaca dan menganalisa? Membaca merupakan fondasi dasar dalam mengetahui sesuatu. Disini, yang dimaksud membaca bukanlah sekedar membaca buku atau membaca tulisan-tulisan. Tapi, membaca dalam arti luas. Membaca orang lain, membaca situasi, membaca hati, dan lain sebagainya. Saya jadi teringat kembali dengan pesan lain dalam Al-Qur’an, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. Al-Alaq: 1). Nah, dengan membaca, pengetahuan kita terhadap berbagai fenomena yang ada di dunia ini akan bertambah.

Kemudian, menganalisa merupakan kelanjutan dari membaca. Sebagai manusia, kita seringkali dihadapkan pada beragam situasi yang menuntut kita untuk dapat mencermati, menyikapi, mengambil keputusan, dan memberi respon dengan tepat. Untuk dapat melakukan itu semua, kita tidak cukup hanya mengandalkan pengetahuan (data) dari bacaan yang kita miliki. Kita harus dapat memilah, mengklasifikasi, dan kemudian membuat atau mencari identifikasi (kesesuaian). Proses inilah yang disebut dengan menganalisa.

Proses membaca yang universal (berpikir melingkar) dan menganalisa masalah dengan tajam akan melahirkan tindakan yang tepat dan proporsional. Itulah bijaksana. Jadi, dengan membaca dan menganalisa, kita belajar menjadi pribadi yang bijaksana. Mari kita sama-sama latih diri kita menjadi bijaksana agar kita menjadi manusia yang dapat menentramkan orang lain dan mulia di sisi Allah. Insya Allah. :) Dan berikut doa yang dapat kita panjatkan agar dapat menjadi pribadi yang bijaksana :

“Ya Allah, bukakanlah pintu kearifan penalaran. Bukakan pintu kearifan, sebagaimana para rosulMuyang Engkau utus. Tolonglah kami dengan rahmatMu. Dan ingatkanlah atas apa-apa yang kami lupa. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu. Aamiin.”

1 comment:

  1. assalamualaikum ka,,, ada tidak alamat khusus untuk dapat contoh skripsi statistika????

    ReplyDelete